Batam, 12 Februari 2025 – Lapangan Engku Putri, yang berada di lingkungan Kantor Wali Kota Batam, selama ini menjadi pusat berbagai kegiatan publik, mulai dari acara pemerintahan hingga event masyarakat. Namun, pengelolaan lapangan ini menimbulkan pertanyaan besar terkait kejelasan aturan, terutama dalam penyewaan area bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM).

Banyak acara yang digelar di dalam kawasan lapangan tersebut disertai dengan penyewaan tenda atau stan bagi UKM dengan tarif tertentu. Namun, yang menjadi perhatian adalah tindakan represif terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di luar pagar lapangan. Beberapa dari mereka mengaku mengalami pengusiran hingga persekusi oleh aparat Satpol PP dengan alasan tidak memiliki izin. Padahal, para pedagang ini telah melakukan aktivitas ekonomi sehari-hari dan dikenakan pungutan lapak di luar event resmi.

Menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan aset daerah harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang menyatakan bahwa setiap bentuk penyewaan fasilitas publik harus masuk dalam kas daerah sebagai bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jika ternyata pengelolaan ini dilakukan secara sepihak oleh oknum tanpa regulasi yang jelas, maka ada potensi maladministrasi atau bahkan pelanggaran hukum.

Dampak bagi Pedagang dan Upaya Perlindungan Hukum

Salah satu pedagang yang enggan disebut namanya mengaku bahwa dirinya dipaksa menutup dagangannya yang berada diluar pagar lapangan Engku Putri oleh Panitia dan Satpol PP meskipun ia hanya berjualan di luar pagar. “Kami sudah lama berjualan di sini, setiap hari ada pungutan dari pihak tertentu, tapi saat ada event besar kami malah diusir, bahkan kami dibilang sebagai pedagang-pedagang licik dan terang-terangan mengatakan bahwa didalam harus bayar dan tidak boleh berjualan diluar selain didalam lapangan Engku Putri. Dan kami dipersilahkan memviralkan ucapannya melalui konten-konten sosial” ujarnya.

Video pengusiran PKL https://www.facebook.com/share/v/15zKvk5rYx/

Tindakan pengusiran dan pelarangan berdagang ini dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Huruf e UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 yang melarang pejabat memanfaatkan jabatan untuk memaksa seseorang membayar sesuatu yang seharusnya tidak dibayarkan. Selain itu, Pasal 423 KUHP juga menyatakan bahwa penyalahgunaan jabatan yang merugikan masyarakat bisa diancam hukuman hingga enam tahun penjara.

Langkah yang Bisa Dilakukan Pelaku UKM

Bagi pedagang yang merasa diperlakukan tidak adil, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:

  1. Mengajukan Permohonan Informasi Publik ke Pemko Batam mengenai regulasi pengelolaan Lapangan Engku Putri.
  2. Melaporkan ke Ombudsman RI Perwakilan Kepri jika ditemukan indikasi maladministrasi atau penyalahgunaan wewenang.
  3. Mengadukan ke Aparat Penegak Hukum jika terjadi pungutan liar atau pemerasan.
  4. Menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika kebijakan pengelolaan aset daerah dinilai melanggar hak usaha masyarakat.

Pentingnya Regulasi yang Transparan dan Berkeadilan

Pemko Batam sebagai pemegang kebijakan harus lebih transparan dalam pengelolaan ruang publik seperti Lapangan Engku Putri. Jika pengelolaan dilakukan dengan aturan yang jelas dan adil, tidak hanya akan menciptakan kepastian hukum, tetapi juga dapat meningkatkan PAD secara resmi dan menghindari praktik pungutan liar.

Sebagai bagian dari edukasi publik, video yang menunjukkan peristiwa pengusiran dan persekusi terhadap pedagang UKM akan ditampilkan dalam laporan ini sebagai bukti nyata bahwa praktik ini masih terjadi di Batam. Publik diharapkan dapat lebih kritis dalam memahami hak-haknya serta turut mengawasi pengelolaan aset daerah agar lebih transparan dan berpihak kepada rakyat kecil.

ditulis oleh: Suharsad, S.H.

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *