Oleh : Anton Permana. (Analis Sosial Politik dan Pertahanan Alumni Lemhannas PPRA RI 58 tahun 2018)
WAJAHBATAM.ID – 20/1/2020 |
Telah melalui puluhan event Pilkada memberikan arti tersendiri bagi penulis saat ini. Berbagai macam suka dan duka telah dilalui. Mulai dari menang gemilang dan ‘menikmati’ privilege khusus dari kepala daerah yang dimenangkan sudah dirasakan. Kalah dalam pilkada lalu disalah-salahkan juga sudah dirasakan. Menang lalu dilupakan atau dikhianati dgn berbagai alasan juga sudah dirasakan. Tapi meski berbagai spektrum kondisional hasil pertarungan Pilkada yang kita alami ada satu hal yang pasti akan selalu kita dapati dan lalui yaitu ; benturan dan gesekan. Baik itu dengan sesama internal tim, dengan lawan kandidat itu, maupun malah dengan kandidat itu sendiri.
Tak peduli awalnya adalah sebagai teman dekat, saudara, guru, sohib, kerabat, atau apa saja bentuk kekerabatannya. Namun ketika berbicara tentang kepentingan politik, jarang orang yang bisa memilah dan memilih. Norma dan etika sakral bahkan tuntunan agama untuk tidak memutus silaturahmipun diabaikan. Namun itulah wajah politik kita hari ini. Output dari demokrasi liberal. Menjadikan politik jadi hal yang utama. Politik menjadi tujuan bukan lagi sarana untuk perbaikan kehidupan bernegara yg lebih baik. Idealisme politik berbasis nilai, sering kalah oleh pragmatisme kepentingan kelompok dan sponsor. Semua menjadi dilematis. Mau idealis, tapi terkendala dalam hal pendanaan dan ‘tiket partai’. Akhirnya pintu pragmatis untuk berkolaborasi dengan para taipan, sponsor, dilalui. Konsekuensi dari kolaborasi ini tentu adalah mengadaikan idealisme dan siap menjadi ‘pekerja politik’ bagi para sponsor. Apakah semuanya begitu ? Jawabannya tentu tidak. Tapi untuk konteks hari ini cenderung demikian. Walaupun ada yg istiqomah menjadi kepala daerah idealis, jumlahnya sangat sedikit. Itupun di kooptasi media agar tidak muncul di publik.
Itu baru tentang pengalaman Pilkada 3 episode yang lalu. Nah bagaimana dengan pilkada ke depan ? Disini menariknya. Ada sebuah fenomena baru yang penulis lihat mulai menjadi ‘trend’ yang semakin menjangkiti psikologi anak bangsa hari ini. Apakah saat ini eranya sosial media mania yang menjadikan setiap orang haus akan aktualisasi diri dan eksistensi diri. Atau pola kehidupan hedonisme dan populis otoritarian politik hari ini yang mengakibatkan banyak anak bangsa begitu tertarik untuk menjadi kepala daerah. Apakah itu ? Penulis menyebutnya dengan star syndrom. Yaitu semacam penyakit psikologis berupa ‘halusinasi’ merasa dirinya adalah bintang, tokoh, publik figur, sedangkan faktanya jauh dari kenyataan.
Secara formil untuk persyaratan maju Pilkada boleh-boleh saja asalkan memenuhi syarat administratif sesuai regulasi pemilu dan pilkada. Tapi akan sangat berbeda kalau kita berbicara tentang azas kepatutan, kelayakan, dan kepantasan seseorang untuk maju menjadi calon pemimpin yang akan memimpin ratusan ribu bahkan jutaan manusia. Anehnya, meskipun sudah puluhan kepala daerah yg masuk bui, tapi animo para anak bangsa ini tetap tinggi. Apa penyebab secara teori ilmiah akademisnya ? Biarlah para ahli psikologi yang menjawabnya. Kita cukup membahas fenomena ringan tentang penyakit star syndrom ini. Apakah semua calon kepala daerah ini seperti itu ? Jawabannya tentu tidak. Untuk itulah penulis mencoba mengidentifikasi dan membedah mana calon kepala daerah yang memang layak untuk maju Pilkada, atau mana yang terkena penyakit halusinasi star syndrom tersebut. Berikut identifikasinya :
1. Ada tiga tipikal calon KaDa (kepala daerah) yg mesti kita pahami. Pertama, tipikal ideologis yang maju karena tuntutan ideologisnya untuk menjadi penguasa. Agar dapat menunjang kegiatan dan aktifitas ideologis yang dia yakini. Apakah itu berbasis agama, pemikiran, politik, maupun sekte atau tanpa agama sama sekali seperti komunisme. Kedua tipikal opportunis yg maju karena syahwat pribadi ingin mendapatkan kekuasaan, fasilitas negara, harta kekayaan, aktualisasi dan eksistensi, serta ingin terkenal semata. Ketiga, tipikal dunguis yg maju karena alasan tak jelas saja. Alias ikut trend semata. Kalau dalam bahasa minang disebut kandidat ‘gadang sarawa’ alias ‘pondoh aia pondoh dadak’ (kalau mau tahu artinya silahkan tanya sama orang Minang terdekat..😀😀). Nah untuk tipikal ketiga inilah yang paling rentan terkena star syndrom itu.
2. Kalaulah kandidat tersebut mempunyai track record serta kompetensi pengalaman dalam pemerintahan, organisasi, atau institusi TNI-Polri misalnya itu masih sangat wajar. Tapi ada pula saat ini kandidat, yang tak jelas kompetensinya, sepak terjang kepemimpinannya apalagi kalau berbicara pengetahuan tentang pemerintahan dan birokrasi, tapi optimis tak menentu maju Pilkada, ini yang jadi masalah.
Hanya bermodalkan design stiker di laman sosial media, pajang photo di baliho, lalu ada komentar dukungan “ Mantappp,… Lanjutkan… Ayo kita dukung… Keerreenn… “ di Group WA atau FaceBook, lalu menjadi pijakan untuk maju Pilkada tentu akan sangat naif sekali.
Kecendrungan ini sering terjadi kepada mereka yg haus akan panggung aktualisasi diri, yang mungkin saja secara psikologis tertekan dalam keluarga, lingkungannya, kebetulan punya modal lalu mencoba mengambil jalan pintas untuk merobah atau membalik keadaan. Akhirnya yang terjadi, kandidat seperti ini akan jadi sasaran empuk bancahan para pemain politik Pilkada di lapangan. Opok-opok sedikit, punya massa, sapat uang saku lalu jalan. Bagaimana nanti hasilnya urusan belakangan.
3. Ada juga penyakit star syndrom ini terjadi pada KaDa yang sudah dua kali menjabat mau naik kelas kejenjang yang lebih tinggi. Padahal boleh dikatakan tak ada prestasi monumental yang di perbuatnya selain koleksi penghargaan yang terbuat dari print-out kertas berbingkai hasil kerja ‘EO’ (Event Organizer) semata. Namun karena tak ada pilihan lain untuk menyambung kehidupannya ke depan, ya terpaksa berjibaku maju ke jenjang berikutnya.
Kandidat seperti ini juga harus rela menipu dirinya sendiri. Dalam hatinya mungkin sadar tak layak, namun karena tahu jadi kepala daerah itu enak sekali maka cukup pejamkan mata, rancang skenario sosialisasi, lakukan lobby sana sini tapi di permukaan seolah tak berminat alias jaim. Padahal baliho bertebaran dimana-mana. Tapi inilah wajah kebanyakan masyarakat kita. Yaitu masyarakat hipokrit. Penuh dengan kepura-puraan. Si kandidat pura-pura jadi bintang (publik figur), pendukungnya pura-pura mendukung, hasilnya pun akan pura-pura. Itulah konsekuensi politik pragmatis versi demokrasi liberal hari ini.
Banyak lagi kalau ingin kita bahas tuntas. Dan silahkan bagi pembaca untuk melanjutkannya dengan kurenah masing-masing. Tapi yang jelas penyakit star syndrom ini sangat berbahaya. Karena korbannya adalah rakyat atau juga bisa si kandidat itu sendiri. Uang habis, kalah Pilkada atau kalau menangpun nanti masuk penjara. Akibat tak tahu mekanisne organisasi asal embat saja.
Untuk itu penulis mengajak kita semua. Ada 270 Pilkada yang akan berlangsung di tahun 2020 ini. Dan ini adalah episode Pilkada yg ke empat kalinya pasca reformasi. Sudah saatnya kita tidak jadi hipokrit lagi. Kasihan rakyat. Kasihan masa depan anak cucu kita. Kita sering menyalahkan keadaan atau prilaku para pejabat yang memimpin negeri ini. Tapi kadang kadang kita pun adalah bahagian yg menjadi pendukung secara tak langsung kondisi ini. Yaitu berdiam diri ketika melihat kejanggalan atau kemungkaran yang terjadi.
Mari kita bersama menjaga diri kita, harga diri kita, untuk tidak jadi pelacur dalam politik pragmatis. Pilihlah para kandidat yg memang berdasarkan ideogis dan kapasitasnya. Bukan embel- embel lainnya. Agar lahir para pemimpin yang amanah dan berintegritas. InsyaAllah.
Jakarta, 19 Januari 2020.