Batam

Menggugat Beban Ganda, UWTO atau PBB (Bag I)

WAJAHBATAM.ID | 01/04/2018 Menggugat Beban Ganda, UWTO atau PBB Oleh : Cak Ta’in Komari, SS. Ketua Presidium Kelompok Diskusi Anti 86

Pandangan Umum

Sehubungan pola sewa-menyewa tanah di Batam oleh BP Kawasan Batam yang disebut UWTO (sebelumnya Otorita Batam) dan dipungutnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Batam terhadap satu objek jelas-jelas telah menimbulkan beban ganda bagi masyarakat Batam. Mengapa tanah sewa dengan UWTO dari negara masih dipungut pajak PBB?
Begitu juga ketika mau terjadi perpindahan hak penyewaan, masyarakat Batam harus mengurus ijin peralihan hak (IPH), namun pada saat yang bersamaan masyarakat juga diwajibkan harus membayar BPHTB. Apa bedanya IPH dengan BPHTB? Mengapa masyarakat harus dibebani dua pungutan untuk satu objek?

Penguasaan Bumi (selanjutnya disebut lahan) oleh BP Batam yang dikelola dan dimanfaatkan dengan menyewakan kepada pihak ketiga (masyarakat dan pengusaha), tapi masyarakat sebagai penyewa masih harus dibebani pembayaran PBB. Di mana rasa keadilan? Mestinya sesuai UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yang seharusnya membayar PBB adalah BP Batam, dimana BP Batamlah yang menguasai lahan dan memanfaatkan untuk disewakan kepada pihak lain. Mengapa PBB-nya harus ditanggung masyarakat meski objek pajak dalam penguasaan dan pemanfaatan negara dan adalah tanah negara, dalam hal ini BP Batam.
Lahan di Kota Batam yang dalam kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan oleh BP Batam, dapat diartikan bahwa lahan di Batam merupakan tanah negara sehingga itu termasuk yang dikecualikan untuk dipungut PBB dan BPHTB karena sudah dipungut BP Batam dengan UWTO dan IPH. Hal ini tidak ditemukan di wilayah lain di Indonesia. Jadi di mana ada persamaan hak dan rasa keadilan itu?
Perlakuan tersebut tentu mengganggu dan merugikan hak masyarakat Batam yang dijamin UUD RI 1945 Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi : Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Masih persoalan lahan, BP Batam juga telah mengalokasikan lahan hutan lindung yang belum memiliki HPL (Hak Pengelolaan Lahan) dari Departemen Kehutanan ribuan hektar, lahan tersebut sudah terlanjut dikomersilkan menjadi perumahan, kawasan pertokohan, pariwisata/perhotelan/ resort maupun industri – namun lahan tersebut tidak bersertifikat, atau kalaupun ada yang dikeluarkan sertifikatnya oleh BPN Batam sertifikat tersebut juga tidak laku ketika dijadikan agunan pengajuan kredit ke bank.
Kondisi ini bukan saja merugikan masyarakat tetapi juga telah menipu masyarakat dengan membeli perumahan yang berada di kawasan hutan lindung. Hal ini juga baru terjadi di Batam, di mana hak masyarakat Batam untuk mendapatkan perlakuan hukum dan pemerintahan yang sama dalam NKRI sebagaimana dijamin UUD 1945 khususnya Pasal 27 Ayat (1) tersebut tidak terpenuhi. Mengapa lahan hutan lindung harus dipungut sewa UWTO oleh BP Batam dan PBB oleh Pemko Batam sekaligus?
Bukti kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan ada di tangan BP Batam sebagai representatif lembaga negara non-struktural, bukan di Pemko Batam, karena setiap Pemko Batam memerlukan lahan untuk suatu kegiatan, pembangunan dan kebutuhan infrastruktur pemerintahan, sosial dan lainnya Pemko Batam harus mengajukan dan meminta alokasi dari BP Batam. Persoalan yang paling nyata adalah permintaan penyerahan lahan untuk Tempat Pembuatan Akhir (TPA) di Telaga Punggur dan Rumah Pemotongan Hewan di Temiang yang hingga kini juga belum tuntas. Di sinilah jelas nyata-nyata bahwa lahan di Kota Batam ada di bawah penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan oleh BP Batam.

Identifikasi Masalah

Persoalan yang paling mendasar sesungguhnya adalah bagaimana memaknai kata perkata dalam UU no. 28 tahun 2009 tentang PBB dan BPHTB tersebut. Untuk itu, mari kita bedah satu persatu. Meskipun secara sederhana dan kasat mata sudah sangat jelas sehingga tidak menimbulkan pemaknaan yang bias dan perlu pembahasan atau penjelasan lebih khusus. Meski untuk kepastian hukum perlu adanya pemaknaan para ahli hukum dan ketetapan pengadilan terhadap persoalan tersebut.
Pokok persoalannya dimulai dengan sengaja atau tidak sengaja, paham atau tidak paham, Pemerintah Kota Batam menerapkan Pasal 77 dan 85 UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terkait pungutan PBB dan BPHTB terhadap masyarakat Kota Batam, yang menurut pandangan kami sebenarnya tidak berhak. Pungutan Pajak PBB dan BPHTB bahkan sudah diberlakukan sejak sebelum keluar UU No.28 Tahun 2009 tersebut, yang pungutan masih dilakukan Kantor Pelayanan Pajak.
Ada persoalan yang perlu dipahami dan dimaknai secara bersama-sama. Prinsip terpentingnya adalah bahwa satu objek tidak boleh dipungut dua atau lebih dengan menggunakan istilah berbeda.
Pasal 77 berbunyi :
(1) Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
(3) Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang :
a. ……
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
Pasal 77 ayat (1) tersebut menjelaskan bahwa syarat suatu objek pajak PBB adalah dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan. Poin tiga kata inilah yang perlu diberikan perhatian dan pemaknaan secara lebih tepat.
Dipertegas dengan Pasal 78 yang berbunyi :
(1) Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
Pembahasannya dari pasal perpasal, dan kata perkata :
Hal yang perlu dicari dan dibuat kesepakatan terkait kata memiliki dan menguasai. Pertanyaannya siapakah yang memiliki dan menguasai lahan di Kota Batam? Apakah BP Batam atau Pemko Batam? Terkait kata memanfaatkan. bahwa apakah masyarakat dapat memanfaatkan lahan/tanah yang didapatkan alokasinya secara sewa/pinjam dari BP Batam sebagaimana keinginannya? Jawabnya tidak. Masyarakat yang mendapatkan alokasi lahan/tanah dari BP Batam hanya menikmati manfaat yang sudah ditentukan BP Batam.
Kata PBB tidak dipungut pada hutan lindung, hutan wisata, ….. dan tanah negara. Apakah di Kota Batam ada yang lebih kuasa atas lahan/tanah dari pemerintah/negara yang dilimpahkan kepada BP Batam? Jawabnya pasti tidak. Artinya dapat disimpulkan bahwa tanah di Kota Batam adalah tanah negara yang dikecualikan untuk dipungut PBB dan BPHTB. Beberapa kompleks perumahan di Kota Batam adalah masih berstatus lahan hutan lindung yang juga dikecualikan untuk dipungut PBB dan BPHTB. Pertanyaannya, mengapa Pemko Batam melakukan pungutan terhadap tanah dan bangunan pada lahan yang berstatus hutan lindung?
Melihat uraian beberapa poin di atas, apakah dalam hal pungutan Pajak PBB dan BPHTB oleh Pemko Batam adalah perbuatan melawan hukum, telah merugikan masyarakat Kota Batam dan harus diberikan sanksi hukum.

Kerugian Material dan Immaterial

Akibat dari tindakan pungutan UWTO dan PBB tersebut, masyarakat Batam telah mengalami kerugian baik secara materi maupun immaterial, baik yang global dialami oleh masyarakat Kota Batam maupun secara personal, yang secara psikis dialami maupun akan dialami masyarakat Kota Batam, yang belum ada terjadi di seluruh wilayah peraturan perundangan di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni : Kerugian yang diderita akibat beban pajak atau pungutan dobel juga bukan tanggung jawab dan kewenangan yang melekat padanya, di dalamnya telah terjadi pembohongan publik, intimidasi, serta ketidakadilan.
Bagaimana kalau masyarakat Batam sekarang menuntut Pemko Batam untuk mengembalikan semua nilai PBB yang sudah dibayarkan selama ini – yang nilainya sangat besar jika dihitung dari mulai dipungut PBB sejak awal. Bagaimana solusinya, Pemko Batam mampu mengembalikan atau membayarnya kembali kepada masyarakat Batam? Namun untuk itu, mau atau tidak mau, mampu atau tidak mampu, Pemko Batam harus mengembalikan dana tersebut kepada masyarakat Kota Batam. Sebab praktek ini sangat merugikan masyarakat Kota Batam karena terbebani oleh satu objek dengan dua nilai sewa dan pajak, di mana pungutan yang dilakukan tidak pernah terjadi di wilayah Indonesia lainnya.

Untuk mengakhiri ketidakpastian hukum terkait pungutan PBB dan BPHTB serta UWTO dan IPH,maka masyarakat dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan Gugatan Perdata Perwakilan Kelompok (class action) ke Pengadilan Negeri Batam. Tentu dengan menghadirkan dan mendengarkan para ahli hukum tata Negara terlebih dahulu, sehingga putusan apapun yang kemudian oleh majelis hakim akan menjadi putusan yang mengikat semua pihak dan memberikan kepastian hukum.
Oleh: Cak Ta’in Komari

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *