NasionalPolitik

Antara Bilik Virus, Bambu Runcing dan Darurat Sipil

×

Antara Bilik Virus, Bambu Runcing dan Darurat Sipil

Share this article

Oleh : Anton Permana.

WB – Yogjakarta | Hari ini tepat tanggal 31 Maret 2020 Kemenkes RI mengeluarkan update Covid19 1528 positif, 81 sembuh dan 138 orang meninggal. Namun sehari sebelumnya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga menyampaikan 283 jenazah dikubur sejak tanggal 6 maret 2020 menggunakan protokol covid19.

Secara global, penulis tak tahu lagi sudah berapa ratus ribu positif Covid19 atau yang meninggal dunia. Penulis lebih suka memperhatikan gerak langkah masing kepala negara dan para pemimpin dunia berjibaku dalam mengatasi krisis wabah pandemi covid19 ini.

Presiden Amerika Donald Trumph mengeluarkan stimulus 2,3 Trilyun Dolar dari pemerintah untuk mencegah dan mengatasi virus mematikan ini. Hampir sebahagian negara bagian di AS juga mengambil langkah lockdown namun segala kebutuhan dan pasokan logistik,sandang, dan pangan ditanggung oleh negara. Rata-rata kalau dirupiahkan, masing warga AS mendapatkan 51 juta rupiah selama diberlakukan lockdown.

Arab Saudi juga tak mau kalah. Kerajaan petro dolar ini menggratiskan bagi seluruh rakyatnya untuk berobat dan memeriksakan diri. Tidak hanya itu, pemerintahan KSA juga menyediakan hotel mewah full fasilitas bagi masyarakat baik itu warga negara asli Arab Saudi maupun expatriat bahkan mahasiswa luar negeri yang kuliah disana.

Presiden Italia menyesali keterlambatannya mengambil langkah lockdown sehingga ribuan masyarakatnya meninggal dunia akibat covid19. Raja Thailand mengungsikan dirinya bersama para selir ke suatu tempat mewah yang terpisah jauh dari keramaian. Malaysia menggelontorkan uang ratusan ringgit untuk satu keluarga selama diberlakukan social distancing. Korea Selatan, Jepang, Singapore, dan Vietnam adalah contoh negara yang boleh dikatakan berhasil mengendalikan covid19 dan berhasil menekan angka kematian sekecil mungkin.

Tercatat sudah 23 negara mengambil langkah lockdown untuk mencegah mutasi covid19. Ada juga dengan memberlakukan social distancing di negaranya, dan hanya Indonesia satu-satunya negara didunia saat ini yang mengambil langkas darurat sipil (SOS) dalam menangani covid19.

Inilah wajah kita hari ini. Wajah dunia global yang sedang dihantui oleh virus pandemic covid19. Saat ini dunia menghadapi musuh yang sama, musuh yang tidak tampak namun telah berhasil merobah tatanan dunia secara radikal.

Kenapa dikatakan radikal? Karena hanya dalam hitungan hari, situasi geo politik global dan geo ekonomi dunia berubah total. Secara ekonomi, banyak perusahaan gulung tikar, bursa efek hancur, perjudian terbesar tutup, perdagangan virtual pialang shut down. Banyak negara yang akhirnya mengalami krisis ekonomi akibat tidak berjalannya industri dan lalu lintas perdagangan serta pariwisata. Entah berapa puluh milyar dolar kerugian setiap hari diterima sektor ini.

Secara geo politik begitu juga. Perang dagang antara AS dan China terhenti. Berbagai konflik di belahan dunia baik di Suriah, Kashmir, Palestina-Israel semua berhenti. Olympiade di Tokyo ditunda. Balap Formula 1 juga di tunda. Kalau di Indonesia event Pilkada pun ditunda ke tahun 2021.

Begitu dahsyatnya virus ini mengendalikan dunia. Tiap hari gadget dan layar televisi kita setiap detik dan menit disuguhi tentang kematian dan jatuhnya korban akibat covid19. Di Indonesia ditambah lagi dengan kebijakan pemerintahnya yang serba tidak jelas. Plintat-plintut tak tentu arah.

Hari ini bicara A, besok B, lusa C semua ibarat jurus mabuk. Sangat terlihat kualitas kepemimpinan nasional kita hari ini lemah, amatiran, dan sepertinya memang didesign hanya untuk buat hutang dan melayani China. Ketika ada krisis corona langsung gagap dan kelimpungan.

Bayangkan, negeri kita hari ini penuh ketidakpastian. Seharusnya musibah hari ini dapat menjadi instrumen pemersatu bangsa. Karena kita ada musuh bersama yaitu corona. Namun yang terjadi ada semacam gap (jurang) yang dalam antara pemerintah dengan rakyatnya. Pemimpin kita hari ini kehilangan empati dan kering dari rasa kenegarawan. Setiap komentar dan kebijakan yang dikeluarkan selalu melukai hati rakyat.

Ketika rakyat teriak tentang bahaya corona, pemerintah menganggap remeh dan tuduh itu sebagai ujaran kebencian. Ketika korban berjatuhan, bukan membangun solidaritas tapi malah mengeluarkan biaya puluhan milyar buat para buzzer dan influencer.

Jangankan untuk biaya pengobatan khusus, untuk mengontrol ketersediaan masker saja pemerintah tak mampu. Harga masker yang awalnya 15 ribu satu kotak, sekarang malah jadi 15 ribu satu bijinya. APD (Alat Pelindung Diri) juga langka, kalaupun ada mahalnya minta ampun.

Lebih parahnya lagi, tidak ada instruksi yang jelas, satu komando, terarah dan berkualitas dari pemerintahan pusat kepada rakyatnya. Jatuhnya korban jiwa setiap hari seolah hal yang biasa saja. Padahal kenegarawan seorang pemimpin itu dilihat dari bagaimana negaranya melindungi satu tetes darah warganya jangan sampai tumpah.

Semua aturan dan informasi dibuat abu-abu dan tumpang tindih. Sesama pejabatpun saling kontradiksi statemennya. Ketika masker langka dan mahal, masyarakat berinisiatif membuat masker buatan dari kain, tapi setelah itu keluar himbauan masker kain tak aman dan tidak recomended.

Disaat APD langka dan mahal, masyarakat berinisiatif pakai mantel hujan dan buat sendiri, juga dilarang dan dikatakan tak recommended.

Disaat masyarakat berinisiatif membuat bilik pembersih virus menggunakan disinfectan atau antiseptic, lalu keluar juga himbauan bahwa juga tidak recomended. Namun di satu sisi rakyat disuguhi penyemprotan anti septik ini pada WNI Wuhan yang baru turun pesawat. Rakyat disuguhi dengan laporan Istana negara menggunakan bilik pembersih virus sebelum masuk Istana. Begitu juga dengan kantor kementrian yang lain sampai DPR RI. Walikota Surabaya Rismapun mempertontonkan bilik pembersih virus innovasinya atas rekomendasi pakar medis dan biokimia (farmasi) UNAIR yang mengatakan bahwa bilik virus ini adalah aman dan solusi cerdas mencegah penularan covid19.

Masyarakat hari ini dibuat bingung dengan kondisi tak menentu ini. Pada dasarnya sebagai masyarakat kita semua pasti akan patuh dan taat apapun kebijakan pemerintah. Tapi jangan biarkan masyarakat dalam kebingungan dan keraguan. Disatu sisi kita disuruh di rumah saja, tapi di luar sana TKA China lalu lalang masuk Indonesia.

Disatu sisi kita diminta jangan panik dan tetap jaga kesehatan, tapi setiap upaya dan innovasi masyarakat untuk bersama melawan virus dibatasi tidak jelas ujungnya.

Penulis membaca, innovasi masyarakat membuat masker sendiri, buat APD secara swadaya, membuat bilik virus, adalah sebuah bentuk semangat perlawanan bela negara dan ingin berkonstribusi pada negara. Ibarat kalau dulu ketika melawan penjajah tak ada senjata pakai bambu runcing pun jadi. Begitu juga hari ini. Walaupun tak ada panduan yg jelas, bahan medis langka, masker mahal, APD tak ada, bilik virus disinfectan yang aman untuk manusia mahal, maka dibuatlah secara mandiri masker, APD, dan bilik virus secara kreatif. Tapi inipun dilarang. Parahnya lagi, pelarangan ini tanpa argumentasi yang jelas. Padahal di satu sisi berseliweran berita dan pendapat para ahli bahwa masker buatan, bilik virus adalah langkah cerdas dalam kondisi darurat saat ini untuk memutus dan meminimalisir penularan virus. Terkait resiko dan effect samping, pasti semua langkah ada resiko. Pertanyaannya, kalau boleh memilih mana mau dipilih kena resiko iritasi kulit karena pakai bilik chamber atau kena covid19 ? Masyarakat tentu akan memilih yang paling kecil mudharatnya.

Disinilah akhirnya menimbulkan keraguan dan pertanyaan besar bagi kita semua. Apakah sebenarnya pemerintah hari ini serius untuk mengatassi covid19 ? Atau sengaja membiarkan masyarakatnya begitu saja. Sebagaimana Belanda menerapkan methode ‘self immunity’ atau “herd immunite”. Yaitu, membiarkan rakyatnya secara alami beradaptasi dengan virus sehingga kemudian kebal sendiri. Adapun mengenai resiko korban jiwa yang besar itu adalah bahagian takdir. Namun perbedaannya, kalau Belanda memberikan insentif dan subsidi kesehatan serta fasilitas moderen bagi masyarakatnya. Indonesia bagaimana ?

Ditambah lagi dengan diambilnya kebijakan PSBB ini. Yaitu implementasi darurat sipil sesuai dengan Perpu nomor 23 tahun 1959. Dimana kebijakan ini ditentang keras hampir seluruh lapisan. Baik akademisi, parlemen, dan masyarakat. Karena dianggap sangat mengada-ngada dan bisa disebut ‘abuse of power’.

Darurat sipil itu berlaku bagi negara yang sedang terancam dari segi keamanan dan pemberontakan. Perpu ini lahir ketika era Soekarno dalam menghadapi ancaman pemberontakan. Nah saat ini negara kita musuhnya bukan manusia dan bukan pemberontak. Tetapi wabah virus. Artinya, ancaman kita hari ini adalah ancaman kesehatan bukan ancaman keamanan.

Kebijakan paranoid pemerintahan hari ini semakin melihatkan bahwa design pemerintah hari ini tidak lagi untuk melayani bangsa Indonesia. Bukan lagi atas nama rakyat Indonesia. Karena dengan diberlakukan darurat sipil, ini sama saja membuka celah kekuasaan otoriter. Karena di dalam Perpu darurat sipil itu penuh dengan nuansa perang, kekuasaan luas pemerintah untuk melakukan apa saja. Baik itu untuk intimidasi, penahanan, penggeledahan, dan apa saja yang secara kewenangan diskresi penguasa anggap jadi ancaman buat negara.

Pertanyaannya. Bagaimana kalau kekuasaan ini disalahgunakan untuk menghabisi lawan politiknya ? Menghabisi setiap orang atau kelompok yang berseberangan atau kritis terhadap pemerintah ? Siapa yang menjamin penguasa hari ini tidak menyalahgunakan kewenangan ini ?

Sedangkan tanpa darurat sipil pun, kita melihat sendiri bagaimana kesewenang-wenangan pemerintah melalui kekuasaan aparat hukum untuk menangkap, memenjarakan, setiap lawan politik yang berseberangan dengan pemerintah. Kritikan dianggap sebagai ujaran kebencian. Sedikit sedikit main penjara. Tapi kalau yang pro pemerintah boleh berbuat apa saja. Ini yang merusak bangsa dan membuat perpecahan sesama anak bangsa.

Ini juga yang diragukan para praktisi dan cendikiawan bangsa ini. Sekarang ketika wabah corona menimpa kita, isu dan narasi tentang radikalisme, intoleransi, dan anti Pancasila sepi kita lihat. Jangan-jangan nanti pas darurat sipil ini diberlakukan, isu dan narasi tentang radikalisme ini kembali dimainkan sebagai instrumen Islam Phobia dalam mengabisi kelompok Islam. Bagaimana skenarionya, tentu itu adalah hal yang mudah saja bagi penguasa untum dilakukan dan direkayasa.

Padahal musuh kita adalah wabah covid19 bukan lagi manusia. Artinya bagaimana kita bersama melakukan pencegahan secara masif dengan segala sumber daya yang ada bersatu padu melawan corona bukan malah bertinju.

Kita juga mengetahui, bahwasanya sudah jadi rahasia umum bahwa yang namanya virus itu bisa berasal dari rekayasa genetika buatan manusia. Dan kalau kita membaca dan memahami dari buku yang pernah ditulis mantan menteri kesehatan Ibu Siti Fadillah bahwa, ada bisnis raksasa besar di balik penyebaran virus ini. Yaitu bisnis obat dan vaksin dari perusahaan kesehatan dunia. Ditahun 2000 sampai 2011 di dalam bursa ekonomi dunia, perusahaan vaksin kesehatan inilah yang teratas daya incomenya mengalahkan perusahaan minyak raksasa dunia. Puluhan Milyar dihasilkan dari jualan vaksin virus ini. Ibarat teori pedang dan perisai, ada ancaman penyakit virus maka akan ada juga vaksin atau obat penawarnya. Ketika virus SARS, flue burung dan Mers inilah para perusahaan raksasa dunia itu meraup keuntungan yang luar biasa.

Kalau dulu diera tahun 1960 dikenal wabah campak, kolera dan polio. Maka setelah itu generasi kita diwajibkan vaksin polio dan campak. Apakah semua gratis ? Tentu tidak dong. Minimal dana kas WHO untuk kesehatan yang berjumlah milyaran dolar jadi sasarannya. Siapa pemainnya ? Siapa lagi kalau bukan taipan dunia kelompok elit yahudi dan Amerika.

Jadi wajar juga ketika begitu kuat upaya pencegahan yang kita lakukan, akan begitu kuat juga upaya untuk melemahkan agar pencegahan tidak terjadi. Karena sasaran utama dari virus tentu bagaimana timbul ketakutan, kecemasan,orang sakit dan jatuhnya korban. Yang kemudian pasti akan membutuhkan obat dan vaksin agar sembuh dan kebal. Disinilah letak ‘clue’ bisnis ini. Namanya manusia, kalau untuk kesehatan pasti tak akan memikirkan berapa biayanya. Karena sehat itu mahal. Dan penulis yakin, bahwa saat ini obat penawar atau vaksin virus covid19 ini sudah ada tapi sengaja didiamkan dulu sampai pada saat tertentu dikeluarkan. Sudah terbayangkan berapa besar keuntungan yang akan diraup dari bisnis ini ??

Benar atau salahnya asumsi dan analisa penulis biarlah waktu yang akan menjawabnya. Namanya hipotesa tentu ada kala benar ada kala salah.

Yang penting kita berharap, pemerintah Indonesia jangan bermain api dengan kondisi saat ini. Rakyat sudah lelah. Rakyat lagi susah dan sekarat. Mencari uang semakin susah. Pekerjaan semakin langka. Jangan tambah lagi beban pikiran dan perasaan masyarakat dengan hal hal yang tak masuk akal.

Manfaatkanlah kondisi saat sekarang ini sebagai titik awal konsolidasi nasional. Rekatkan kembali rasa persatuan dan kesatuan anak bangsa yang tercabik-cabik saat ini. Pemerintah jujur saja kepada rakyat. Kalau tak ada uang alias bangkrut, katakan saja dengan jujur. Kalau perlu hentikan dulu bangun ibu kota baru di Kalimantan.

Kalau pemerintah jujur, terbuka penulis yakin masyarakat Indonesia akan mendukung setiap langkah kebijakan pemerintah. Karena apapun itu kebijakan pemerintah baik itu lockdown, social distancing, maupun PSBB hanya akan sukses kalau didukung rakyat. Hanya akan sukses kalau rakyat percaya. Posisikan pemerintah itu sebagai Bapak nya rakyat. Milik seluruh rakyat Indonesia. Jangan posisikan ibarat sopir bus antar kota dengan penumpang yang tak saling kenal. Bayar ongkos tancap gas. Ini negara bukan bus kota. Ini negara milik bersama bukan milik elit penguasa. Cam kan itu.

Yogjakarta, 31 Maret 2020.

(Penulis adalah pengamat sosial politik-pertahanan alumni Lemhannas PPRA 58 Tahun 2018)

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *