Implikasi Pencabutan Lahan Yayasan Pagaruyung Batam terhadap Konflik Sosial dan Hukum di Indonesia

Oleh: Suharsad, SH

Pencabutan alokasi lahan di Batam, termasuk kasus Yayasan Pagaruyung, memunculkan polemik sosial, budaya, dan hukum yang signifikan. Yayasan yang mewakili identitas kultural masyarakat Minangkabau di Batam ini menjadi sorotan karena pencabutan alokasi lahannya berpotensi memecah belah solidaritas suku serta menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pemangku kepentingan.

Kerangka Hukum: Pidana dan Perdata

Perdata (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria – UUPA)

Pasal 27 UUPA mengatur pencabutan hak atas tanah hanya dapat dilakukan demi kepentingan umum dengan memberikan ganti rugi yang layak kepada pemegang hak. Jika pencabutan hak tidak memenuhi syarat ini, pemilik lahan dapat mengajukan gugatan perdata melalui pengadilan.

Peran BP Batam sebagai pengelola kawasan strategis di Batam diatur melalui Perka BP Batam. Namun, setiap pencabutan harus disertai dasar hukum yang jelas, sesuai dengan asas legalitas.

Pidana (KUHP dan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru)

Pasal 372 KUHP mengatur penggelapan, yang bisa diterapkan jika ada elemen pelanggaran terkait penguasaan lahan tanpa hak. Dalam konteks ini, tindakan pihak yang menyalahgunakan kewenangan juga dapat memenuhi unsur Pasal 417 KUHP Baru (penyalahgunaan jabatan).

Jika terjadi intimidasi, ancaman, atau kriminalisasi terhadap pemilik lahan, pasal-pasal terkait tindak pidana kekerasan atau pemaksaan dapat diajukan (Pasal 368 KUHP).

Hak Asasi dan Diskriminasi (UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)

Dalam kasus Yayasan Pagaruyung, perlindungan hak komunitas adat (cultural rights) menjadi aspek penting. Diskriminasi terhadap kelompok tertentu yang mengakibatkan konflik horizontal melanggar prinsip non-diskriminasi dalam Pasal 3 UU HAM.

Analisis Dampak Sosial dan Budaya

Konflik dalam Komunitas Minangkabau

Yayasan Pagaruyung merupakan simbol kultural yang memiliki makna penting bagi masyarakat Minang di Batam. Pencabutan lahan tanpa dialog dengan pemangku adat dapat memicu perpecahan internal dan melemahkan solidaritas suku. Ini juga melanggar prinsip musyawarah mufakat yang menjadi inti budaya Minangkabau.

Efek Domino terhadap Kepercayaan Publik

Kasus ini menambah daftar panjang pencabutan lahan di Batam yang sering dikritik karena tidak transparan. Hal ini berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya dalam pengelolaan aset publik.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kasus pencabutan lahan Yayasan Pagaruyung di Batam harus dilihat dari perspektif hukum dan dampak sosial yang lebih luas. Langkah mitigasi diperlukan untuk mencegah konflik horizontal dan memperbaiki mekanisme pencabutan lahan di masa depan. Beberapa rekomendasi meliputi:

1. Peninjauan ulang kebijakan pencabutan lahan dengan mengedepankan prinsip keadilan dan keterbukaan.

2. Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum yang melibatkan mediasi adat.

3. Penyusunan regulasi yang melindungi hak komunitas adat dan budaya lokal dalam kawasan strategis seperti Batam. Foto hanyalah ilustrasi (Al)

Baca juga …

Polemik Hukum dan Sosial Pencabutan Lahan Yayasan Pagaruyung Batam: Implikasi Konflik Horizontal dan Penyelesaian Hukum

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *